Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang mengandung realitas kehidupan kita sehari-hari. Artinya mengandung fenomena-fenomena sosial tertentu. Sewaktu saya masih awam sekali dengan puisi, seorang penyair Dimas Indiana Senja yang kebetulan juga menjadi pengasuh komunitas kepenulisan yang saya ikuti, mengatakan bahwa puisi adalah kehidupan itu sendiri. Ungkapan yang demikian pertama kali saya dengar.
Saya tercenung, mencerna kalimat tersebut. Setelah saya berkenalan dengan puisi, ternyata memanglah benar bahwa puisi adalah kehidupan itu sendiri. Puisi selalu mengungkap suatu fenomena kehidupan, baik kehidupan pribadi si penulis, ataupun fenomena-fenomena sosial tertentu. Bahwasanya puisi merupakan tiruan dari realitas. Maka di dalam sebuah puisi juga menguak sudut pandang penulis terhadap sesuatu yang menjadi obyek tulisannya, yakni realitas itu sendiri.
Nah, dengan kita melihat, mendengar, dan merasakan tentang realitas yang terjadi, terlebih jika terjadi kesenjangan antara idealitas dengan realitas, maka hal-hal yang seperti itulah yang dapat kita transformasikan menjadi sebuah puisi. Tersebab hal tersebut akan menggugah kegelisahan-kegelisahan seseorang. Walau sampai sekarang saya juga masih belajar memahami hakikat puisi yang sebenarnya itu seperti apa.
Salah satu contoh objek yang akan saya bahas dalam tulisan ini adalah seorang perempuan. Tentunya seseorang pasti mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda dalam memandang seorang perempuan. Tidak ada yang salah, tersebab makna puisi memiliki definisi sebanyak orang yang membacanya. Sah-sah saja jika saya mengungkapkan bahwa, perempuan adalah awal kebermulaan/ perempuan-perempuan dan laki-laki/ perempuan adalah ibu/ yang seperti malaikat/ laki-laki adalah ayah / yang seperti sayapnya malaikat//. Namun tetap harus mempertimbangkan logika sastranya juga. Saling sharing terkait tulisan kita kepada orang yang lebih berkompeten juga merupakan suatu hal yang penting, agar tulisan kita semakin berkualitas.
Beberapa puisi dibawah ini merupakan puisi yang menggambarkan sosok perempuan dan ungkapan kasih sayang serta kerinduan terhadap perempuan yang disebut “Ibu”.
MAWAR PERTIWI
Oleh: Iis Sugiarti
Mawar Pertiwi mekar di setiap pulau. Setelah kelana waktu yang kelam. Wajah Kartini terbit membawa cahaya pembelaan.
Sekarang, masih adakah Mawar Pertiwi yang terkebiri anekdot negeri?
AIRMATA PENAWAR DAHAGA
Oleh: Iis Sugiarti
Mak,
Kau mandi air mata
Setiap kau membaringkan tubuhmu ke ranjang
Menumpahkan kerinduan dalam dada
Hingga memuai ke langit aksara
Angin basah selatan
Telah mengantarkan airmatamu, mak
Kan kutampung dalam tempayan kerinduan, yang
Tak pernah kering, walau kemarau panjang melanda
Ia yang akan menawar dahaga
WAJAH SURYA
;Ibu
Oleh: Iis Sugiarti
Puisi pertamaku adalah wajah surya yang
Kupahat di sekujur tubuh dan jiwaku
Juga buku-buku
BIBIR MERAH MUSIM SALJU 1
Oleh: Iis Sugiarti
Bunda,
Ketika padang mawar yang aku semai mulai kemarau, kau menyiraminya dengan air doa. Nantikanlah harumnya semerbak kian mewangi. Bila nanti bunganya sudah mekar, maka mahkotanya akan menyapa embun pagi.
Bunda,
Ketika rinduku mengakar sampai ke dada, aku menunggu hujan yang di sinari surya. Berharap menjelma pelangi yang membusur di medan langit. Kupandangi lamalama, ternyata bunda tengah menuruni tangga pelangi;mejikuhibiniu. Namun ketika sampai pada tangga ungu kau menjelma fatamorgana, lalu menghilang entah.
Bunda,
Walau berjuta jengkal memisahkan raga kita, wajahmu yang surya akan abadi bersemayam di dadaku. Maafkan mawar yang sering menusukan duri ke dadamu ini, yang selalu saja kau tutup luka itu dengan senyuman tulus ,sambil mengusapusap rambutku “nak, bunda sayang kamu…”.Lalu bibir merah di musim salju mendarat di kening kecilku.
Bunda,
Yang selalu pintakan doa tulus dan harapan putih. Tuhan memberimu hadiah terindah kelak; semoga.
MATANYA MELELEH AIRMATA
Oleh: Iis Sugiarti
mata yang meleleh airmata
mengalir di lekuk wajahnya yang senja
ada selayang kabar tersangkut di hati
tentang kembang yang hendak ditanam di pelaminan
namun ia tak mendekat kepada telapak kaki yang beraroma surga
dimana segala cahaya kebaikan telah dititipkan-Nya
kepada perempuan yang ia panggil ibu
tinggal ia memancarkan yang terlahir dari rahimnya
sebagai doa-doa
mata yang masih kuat menangkap wajah yang jauh
tak lain yang ia harapkan
selain kasih dan pelukan hangat
;hati yang menjadi matahari
Puisi-puisi di atas bisa dikatakan sebagai wujud eksistensi seorang perempuan dalam sebuah teks bahasa yang estetik. Dimana seorang perempuan tersebut manjadi objek penulis dalam menulis puisi.
Di dalam puisi tersebut banyak terdapat ungkapan metaforis penulis dalam mengungkapkan gagasannya terhadap perempuan yang disebut “Ibu”. Perempuan identik dengan keindahan, apalagi istimewanya ia adalah seorang ibu, predikat yang membawa dirinya lebih mulia. Tak ada alasan satupun seorang anak untuk tidak hormat dan mencintai ibu kita sendiri, bagaimanapun keadaannya. Maka patutlah kawan-kawan untuk membahasakan sosok perempuan yang bernama Ibu dengan bahasa yang puitik.
Sekian, semoga menginspirasi. Salam Sastra …
Pondok Pena, 22 April 2016