Membaca
sejarah perkembangan puisi kontemporer di Indonesia maka tidak lepas dari nama
Sutardji Calzoum Bachri. Terutama karena
konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan
dikembalikannya pada fungsi kata, atau dengan kata lain ia telah membebaskan
kata baik dari makna, jenis dan gaya bahasaya dalam puisi dari segala
aturan-aturan yang membelenggu. Maka ia disebut-sebut sebagai pembaharu
perpuisian di Indonesia
setelah kelesuan kesusastraan pasca ditinggal Chairil Anwar.
Sutardji
Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni
1941. Ia adalah pujangga
Indonesia
terkemuka. Setelah lulus SMA
Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan
mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang
kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.
Pada
1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam.
Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika
Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga
memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di
Indonesia.
Beberapa
sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling
ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation
(Calcutta,
India),
Writing from the World (Amerika
Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa
Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting,
1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters
(1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer
Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok,
Thailand.
Berikut
merupakan beberapa karya puisi Sutardji Caulzoum Bachri yang terkenal:
PERJALANAN KUBUR
luka ngucap dalam badan
kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung
ke bintang-bintang
lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku
untuk kuburmu alina
untuk kuburmu alina
aku menggaligali dalam diri
raja darah dalam darah mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam
menyeka matahari membujuk bulan
teguk tangismu alina
sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur
laut pergi ke laut membawa kubur-kubur
awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur
hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
membawa kuburmu alina
TAPI
aku
bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku
bawakan resah padamu
tapi kau bilang hanya
aku
bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku
bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku
bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku
bawakan mayatku padmu
tapi kau bilang hampir
aku
bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa
apa aku datang padamu
wah!
GAJAH DAN
SEMUT
tujuh gajah
cemas
meniti jembut
serambut
tujuh semut
turun gunung
terkekeh
kekeh
perjalanan
kalbu
1976-1979
MANTERA
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka
puah!
kau jadi Kau!
Kasihku
Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka
puah!
kau jadi Kau!
Kasihku
Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten
TRAGEDI
WINKA & SIHKA
Oleh :
Oleh :
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten
IDUL FITRI
Lihat
Pedang tobat ini menebas-nebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia
Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,
telah kutegakkan shalat malam
telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang
Telah kuhamparkan sajadah
Yang tak hanya nuju Ka’bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah
Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu
Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya
Maka aku girang-girangkan hatiku
Aku bilang:
Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam
Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang
Namun si bandel Tardji ini sekali merindu
Takkan pernah melupa
Takkan kulupa janji-Nya
Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta
Maka walau tak jumpa denganNya
Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
Semakin mendekatkan aku padaNya
Dan semakin dekat
semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa
O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini
ngebut
di jalan lurus
Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir
tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia
Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu
di ujung sisa usia
O usia lalai yang berkepanjangan
Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus
Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir
tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia
Maka pagi ini
Kukenakan zirah la ilaha illAllah
aku pakai sepatu sirathal mustaqim
aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id
Aku bawa masjid dalam diriku
Kuhamparkan di lapangan
Kutegakkan shalat
Dan kurayakan kelahiran kembali
di sana
HERMAN
herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan
tak bisa hangat di matari tak bisa teduh di tubuh
tak bisa biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah
tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan
tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut
tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa
di mana herman? kau tahu?
tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng!
herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan
tak bisa hangat di matari tak bisa teduh di tubuh
tak bisa biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah
tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan
tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut
tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa
di mana herman? kau tahu?
tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng!
WALAU
walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak
tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak
tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
HILANG (KETEMU)
batu kehilangan diam
jam kehilangan waktu
pisau kehilangan tikam
mulut kehilangan lagu
langit kehilangan jarak
tanah kehilangan tunggu
santo kehilangan berak
Kau kehilangan aku
batu kehilangan diam
jam kehilangan waktu
pisau kehilangan tikam
mulut kehilangan lagu
langit kehilangan jarak
tanah kehilangan tunggu
santo kehilangan berak
Kamu ketemu aku
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah
1979
Demikianlah beberapa
puisi karya pujangga besar Indonesia Sutardji Calzoum Bachri. Semoga bermanfaat
dan menginspirasi bagi pembaca.
Salam sastra… J